Monday, May 11, 2015

Memaknai Pancasila dalam Kehidupan

SEMANGAT untuk melaksanakan ajaran Pancasila secara murni dan konsekuen mulai mendapat tempat yang menyegarkan. Bertempat di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 25 Mei lalu (2013), delapan pimpinan lembaga tinggi dan tertinggi negara (Presiden, MPR, DPR, DPD, MA, BPK, MK, dan KY) sepakat mengenai perlunya aksi nasional dalam upaya sosialisasi dan penguatan Pancasila sebagai dasar ideologi negara.

Pertemuan itu menyepakati empat hal penting dan strategis, yakni:

Pertama, komitmen untuk secara aktif mengambil tanggung jawab dalam upaya menguatkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara sesuai peran, posisi, dan kewenangan masing-masing.
Kedua, Pancasila harus menjadi ideologi dan inspirasi untuk membangun kehidupan bangsa dan negara yang rukun, harmonis, dan jauh dari perilaku mendahulukan kepentingan kelompok atau golongan.
Ketiga, Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI sebagai empat pilar kehidupan berbangsa harus diimplementasikan secara nyata.
Keempat, perlunya rencana aksi nasional yang dilakukan suatu lembaga untuk melakukan sosialisasi dan penguatan nilai-nilai Pancasila secara formal melalui pendidikan Pancasila dan konstitusi.

Di tengah aneka problema yang membelit kehidupan kebangsaan kita, Pancasila menjadi jalan keluar yang mengurai persoalan demi persoalan bangsa.
Saat bangsa ini diterpa badai kultural asing seharusnya mendorong segenap komponen bangsa untuk bergegas membenahi benteng pertahanan kultural kita yang berdasar pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Kontekstualisasi nilai-nilai yang terkandung dalam lima sila dasar negara itu diperlukan agar Pancasila selalu menjadi ideologi yang senantiasa hidup dan bisa diterapkan di segala zaman.

Pancasila dalam Kehidupan Sehari-hari

Pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari harus dimulai dengan menyegarkan kembali pemahaman kita tentang Pancasila.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna bahwa sejatinya bangsa ini meyakini monoteisme sebagai landasan teologisnya. Sila pertama ini menempatkan Tuhan Yang Maha Esa sebagai kekuatan transendental yang mendorong penganutnya untuk meningkatkan kesalehan baik di level individual maupun sosial. Mereka yang beriman bahwa Tuhan itu omnipresent: Mahahadir—akan membimbing hamba-Nya untuk merasa selalu diawasi, bersikap jujur, dan menghindari untuk berlaku koruptif.

Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab mencerminkan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara ini mesti didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan universal yang bersumber dari falsafah bangsa kita seperti toleransi, harmoni, tepa selira, tenggang rasa, gotong royong, andhap asor, serta saling menghormati sebagai karakter asli (genuine character) bangsa ini.

Sila Persatuan Indonesia menemukan konteksnya di saat bangsa ini begitu mudah terpecah-belah dan terprovokasi hanya untuk perkara-perkara yang tidak substansial.

Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan menunjukkan komitmen founding fathers kita untuk memilih jalan demokrasi dan musyawarah dalam menyelesaikan problem-problem kebangsaan. Sila ini tidak memberi ruang sedikitpun bagi praktik kekerasan dalam menyelesaikan persoalan. Perdebatan-perdebatan yang produktif yang dibimbing akal sehat (common sense) dan kebijaksanaan akan memandu bangsa ini pada peradaban politik yang lebih bermartabat.

Sementara sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia terkait bagaimana proses penegakan keadilan benar-benar dirasakan oleh segenap rakyat Indonesia tanpa pandang bulu. Penegakan hukum yang tegas dan afirmatif akan memenuhi rasa keadilan di masyarakat yang pada gilirannya menjadi modal sosial bagi bangsa ini dalam melahirkan stabilitas sosial-politik. (DP, Berbagai sumber).

http://www.pusakaindonesia.org/memaknai-pancasila-dalam-kehidupan/

No comments:

Post a Comment